Rahma Landy telah kembali dari Jepang dengan membawa catatan prestasi masuk 15 besar di ajang Miss International 2007. Dengan ceria Rahma menceritakan pengalamannya selama mengikuti kontes kecantikan tersebut.
Bertemu dengan puluhan peserta dari berbagai negara, berinteraksi dan menjalin pertemanan dengan mereka, Rahma mengaku mendapat banyak pelajaran. "Saya jadi tahu betapa keras usaha dan jiwa bersaing para wakil Amerika Latin. Makanya, tidak heran mereka sering memenangkan ajang seperti ini. Ambisi mereka sangat tinggi," cerita Rahma.
Menurut Rahma selama proses karantina, seluruh peserta dinilai dari berbagai aspek, seperti sikap, kepribadian dan disiplin diri. Maka selama 12 hari masa karantina, Rahma menerapkan jurus-jurusnya untuk menarik perhatian panitia dan juri.
Dokter gigi lulusan Universitas Trisakti ini berusaha tampil mempesona di setiap kesempatan. Baju yang dikenakannya diusahakan selalu enak dilihat, baik dari model maupun warna.
"Saya pakai baju mini, tank top, backless, atau apa pun asalkan membuat kecantikan saya terlihat. Warnanya juga yang cerah," ujarnya. Padahal cuaca Tokyo saat itu sangat dingin. Suhu rata-rata menunjuk angka 15 derajat Celcius.
Dengan kondisi cuaca seperti itu, sebagian besar peserta memilih memakai jaket atau pakaian tebal. Namun Rahma tidak ikut mengenakan baju tebal atau baju berwarna gelap karena bisa mengganggu penampilan.
"Kalau tetap pakai jaket dengan warna gelap, saya bisa terlihat tambah kecil atau bahkan nggak kelihatan juri. Padahal, it’s a beauty pageant. You must look nice!"cerita gadis yang kini menjadi dokter koas di Klinik Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Trisakti.
Untuk pakaian sehari-hari, Rahma lebih banyak menggunakan rancangan Ivan Gunawan. Untuk pakaian nasional, dia menggunakan dari Anne Avantie. Usaha Rahma tak sia-sia. Menurutnya, Indonesia selalu mendapatkan pujian karena pakaiannya yang indah. "Bangga lah pasti," imbuhnya.
Kemampuan mengendalikan suasana membuat Rahma tidak pernah gugup atau canggung dalam menjalani rangkaian penilaian. Termasuk saat malam final ketika namanya disebut masuk 15 besar.
Saat itu, 15 besar yang terpilih diminta membacakan pidato singkat selama 30 detik. Rahma mendapatkan jatah tema multikultural dan pertukaran budaya. Lima peserta sebelum Rahma, katanya, terlihat sangat nervous hingga pidato mereka hanya berdurasi lima hingga sepuluh detik.
"Alhamdulillah, giliran saya diberikan kelancaran. Kata Pak Wardiman, pidato saya berhenti saat detik ke-29. Itu berarti mendekati. Kalimat terakhir yang saya katakan adalah I will love my country until I die," kenangnya.
Meski akhirnya tidak menang, Rahma cukup terhibur karena Indonesia mendapat predikat best speech. Predikat ini diterimanya setelah turun panggung. "Pihak panitia mendatangi saya dan menyampaikan pidato yang saya sampaikan sebagai yang terbaik. Begitu juga kata teman-teman sesama kontestan."
Rahma juga mengaku selalu berusaha ramah kepada siapa saja. Menurutnya, ramah adalah bagian penting dari identitas Indonesia yang selama ini mulai terlupakan.
Rahma merayakan lebaran di sela-sela kegiatan karantina Miss International. Tidak mau melewatkan momen lebaran, Rahma mencari masjid demi merasakan suasana Idul Fitri dibantu dua orang chapperone. "Dari hasil browsing di internet, kami menemukan adanya masjid. Lokasinya adalah 25 menit dari hotel," jelas dia.
Bersama Miss Turki Asli Tevel yang juga merayakan Lebaran, Rahma dan dua chaperone-nya itu pergi ke masjid tersebut. Tiba pukul 06.30, masjid masih tertutup.
Dengan perasaan kecewa, Rahma dan rombongan kecil tersebut memutuskan balik ke hotel. Namun, sebelum itu, mereka mampir ke sebuah restoran siap saji. Di sana, Rahma bertemu orang Indonesia yang sudah lama menetap di Jepang. "Dia juga berlebaran. Jadi, kami saling mengucapkan. Dia juga yang ngasih tahu bahwa masjid tersebut baru buka pukul 08.30. Salatnya pun baru dilangsungkan pukul sembilanan," ujarnya.
Tidak membuang waktu, Rahma dan rombongan langsung kembali ke masjid setelah makan. Karena sedang berhalangan salat, dia hanya bisa duduk di pelataran masjid. Keadaan itu ternyata dimanfaatkan sejumlah jamaah wanita yang membawa anak. Saat salat id berlangsung, mereka menitipkan anak kepada Rahma. "Ada anak yang orang tuanya berasal dari Afrika. Namanya Abas. Lalu, ada lagi yang dari Jepang dan Mongolia. Seru deh. Lebaran yang tak terlupakan," tuturnya, lalu tertawa.